Menghargai Air Melalui Karya, Tulisan saya untuk Kompetisi yang diselenggarakan oleh PU PR x Tempo. Dipublikasikan pada 16 Maret 2021 di blog saya sebelumnya.
Sebagai negara yang memiliki lebih dari 550 sungai, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang sejak lama menjadikan sungai sebagai tempat untuk beraktivitas dan bermukim. Bukan hanya memanfaatkan airnya, sungai menjadi tempat untuk sumber mata pencaharian, jalur transportasi dan bantarannya sebagai tempat tinggal. Namun, kedekatan masyarakat dan sungai tidak hanya menuai keuntungan melainkan juga ancaman, baik bagi lingkungan maupun masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan solusi agar kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Hal yang umum terjadi adalah bantaran sungai (re: jalur tanah pada kiri dan kanan sungai) yang berpopulasi padat cenderung memberikan dampak negatif untuk kualitas air di sekitarnya. Hal ini dikarenakan perilaku masyarakat sekitar yang membuang sampah langsung ke sungai, aktivitas MCK, industri dan lain-lain, sehingga mengakibatkan peningkatan beban pencemaran di badan air. Salah satu contoh, DAS Cikapundung yang terus mengalami kenaikan beban pencemar, ditinjau berdasarkan parameter TSS, BOD, dan COD dari tahun 2016 – 2021. Berdasarkan hasil penelitian, kenaikan beban pencemar ini juga semakin mengkhawatirkan seiring dengan kenaikan jumlah penduduk yang hidup di bantaran sungai DAS Cikapundung. Tidak mengherankan, apabila secara umum kawasan bantaran sungai yang padat pemukiman menjadi salah satu faktor penurunan kualitas air sungai di Indonesia yang berdampak pada kelestariannya di masa depan.
Dalam upaya melestarikan sungai, pemerintah sudah berusaha merealisasikan program relokasi warga yang bermukim di bantaran sungai di masing-masing daerah. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2014 masih ada 21.065 desa/kelurahan di Indonesia yang hidup di bantaran sungai. Setelah 5 tahun silam, terjadi penurunan angka yang cukup signifikan untuk desa/kelurahan yang hidup di bantaran sungai yaitu tercatat sebanyak 14.078 desa, atau turun sekitar 33,2%. Hal ini sejalan dengan perubahan baik yang terjadi di beberapa sungai di Indonesia. Salah satunya adalah relokasi warga di bantaran sungai Ciliwung sepanjang 700 meter yang secara visual sudah menunjukkan pengurangan sampah dan ruang yang lebih lega untuk pengaliran air dengan debit yang cukup besar.
Akhirnya, relokasi bukan satu-satunya cara untuk mengurangi dampak negatif di badan sungai. Tentu masih diperlukan usaha-usaha lain dalam meminimalisir kemungkinan daya rusak air dan memaksimalkan pendayagunaannya. Sebagai contoh, masyarakat masih perlu mengimplementasikan pola hidup ramah lingkungan seperti membuang sampah pada tempatnya, mengurangi genangan dengan membuat sumur resapan, atau menabung air hujan untuk dimanfaatkan. Dengan begitu, air pun akan memberikan manfaatnya dan tidak memberikan ancaman daya rusak bagi warga disekitarnya. Singkatnya, ketika manusia menghargai air, air tentu akan menghargai manusia melalui kebermanfaatannya.
#HariAirDuniaXXIX2021 #MengelolaAirUntukNegeri #SigapMembangunNegeri
Referensi:
Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Keberadaan Permukiman di Bantaran Sungai (Desa), 2014-2018. Diakses pada tanggal 8 Maret 2021. Tautan: https://www.bps.go.id/indicator/168/1105/1/banyaknya-desa-kelurahan-menurut-keberadaan-permukiman-di-bantaran-sungai.html
Wijaya, Yulia Fitri dan Muchtar, Heni. 2019. Kesadaran Masyarakat Terhadap Kebersihan Lingkungan. Sungai. Universitas Negeri Padang
Rahayu, Yushi; Juwana, Iwan; Marganingrum, Dyah. 2018. Kajian Perhitungan Beban Pencemaran Air Sungai Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung dari Sektor Domestik. Jurnal Rekayasa Hijau