- Cerita ini terinspirasi dari pengalaman pribadi, namun ada efek dramatisasi dan hiperbola agar cerita bisa lebih menarik
- Cerita ini telah dilombakan dalam kegiatan PPI Edufest 2022 dalam kompetisi Writing Contest yang berbentuk cerita pendek
Di pagi buta tepat setelah waktu fajar, matahari masih belum bersinar, terdengar suara ayam berkokok bersaut-sautan. Suasana yang tidak bising di pedesaan memang membuat tidur jauh lebih nikmat. Tidak heran, pemandangan mess karyawan dengan bangunan kayu di sana masih gelap, mengisyaratkan bahwa mayoritas dari mereka masih tertidur lelap. Di salah satu kamar, terlihat sorot lampu yang tidak begitu terang, namun dapat terlihat dari luar karena gorden yang terpasang sudah robek sebagian.
Tiba-tiba alarm terdengar di kamar tersebut memecah keheningan, sontak pemilik handphone yang memasang alarm bertanya kepada Satria, teman sekamarnya. “Sat, sudah jam berapa? Sudah waktunya subuh ya?” Sambil mematikan alarm, Johan bertanya kepada Satria yang sudah sibuk dengan laptop dan sebaran kertas di atas ranjang kecilnya. Satria menjawab tanpa banyak bergeming, “Iya, Johan”. Nampaknya, Satria sangat konsentrasi dengan apa yang ada di layar laptopnya, sampai-sampai Ia pun menjawab pertanyaan Johan dengan jawaban seadanya. Setelah menjawab, Satria kembali memasang earphone dan melanjutkan audio yang ia putar. Delapan sampai Sembilan bulan ini memang aktivitas Satria sangat berbeda, 2 jam setelah subuh ia alokasikan untuk mengerjakan soal tes IELTS, salah satu tes resmi untuk menguji kemampuan Bahasa Inggris-nya. Setelah itu ia pun juga harus mempersiapkan diri untuk bekerja, dan berangkat ke kantor hingga malam. Ya, hingga malam, jam 20:00 bahkan lebih, karena ia bekerja di proyek dengan berbagai tantangan di dalamnya.
Latar pun berubah, terlihat lalu lalang pekerja proyek dengan sepatu bootsnya. Satria duduk tepat di depan ruang Human Resources Development (HRD) sambil memegang kertas permohonan cuti, dengan harapan dua pekan lagi ia bisa mendapatkan hak cutinya. Berselang 30 menit menunggu, seorang pria keluar, mengisyaratkan bahwa Satria bisa masuk ke ruangan HRD setelah pria tersebut. Bapak Anwar, seorang pimpinan HRD langsung menyambut, “Mau cuti kemana untuk periode sekarang mas?” sambil menatap Satria dengan ramah. Satria menjawab, “ke Jakarta lagi pak” dengan lantang ia menjawab, di kepalanya sudah banyak rencana yang ingin ia lakukan, salah satunya adalah mengikuti tes IELTS yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari.
Satria sebenarnya berasal dari Kalimantan, ia juga sering pulang ke Kalimantan untuk menemui orang tuanya. Namun, kali ini ia harus pergi ke Jakarta karena ia harus melakukan tes IELTS dengan skema komputer (computer delivered test) untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Satria sadar bahwa ia akan bisa lebih baik apabila mengikuti skema komputer, setelah berpuluh kali latihan yang membuat ia dapat berkesimpulan bahwa ia tidak cukup cepat untuk menulis tangan dengan hasil tulisan yang mudah dibaca.
Singkat cerita, pagi-pagi dengan hiruk pikuk kota Jakarta, tepat jam 07:30 WIB, Satria sudah bergegas keluar dari penginapannya yang tidak begitu mewah untuk menuju ke tempat tes. Bahkan ia datang lebih pagi daripada karyawan kantornya pada saat itu. Tidak ada yang Satria kenal, membuat suasana makin gugup karena ini pertama kali juga ia mengikuti tes IELTS ini. Mencoba mengafirmasi diri, ia mengirimkan pesan ke mentornya, “Mohon doanya ya miss, semoga saya bisa mendapatkan hasil yang terbaik untuk tes hari ini”. Tidak lama kemudian mentornya menjawab, memberikan afirmasi positif yang setidaknya cukup untuk modal semangat Satria di hari itu.
Sekian hari setelah tes, Satria sudah kembali ke Sulawesi di desa kecil tempat ia bekerja. Pagi hari Satria mendapat e-mail bertuliskan skor IELTS yang ia dapatkan. Tanpa pikir panjang, rasa haru dan bahagia ia curahkan karena berhasil memenuhi skor yang dipersyaratkan untuk mendaftar beasiswa dan juga kuliah di luar negeri. “Bapak, Alhamdulillah, Satria dapat skor yang Satria harapkan untuk tes kemarin” dengan antusias ia langsung menelpon Ayahnya. Ayahnya menjawab, “Ia nak bapak selalu berdoa dan mendukung, semoga lancar untuk proses selanjutnya ya”. Hari itu rasanya bahagia sekali, setidaknya ia punya harap untuk melanjutkan ke proses selanjutnya dan menggapai mimpinya untuk kuliah di luar negeri.
Meskipun sudah melalui tes IELTS, setiap pagi masih terlihat sama. Johan masih melihat Satria yang bangun jam 05:00 WITA bahkan sebelum itu, alarm membangunkan Johan, dan pemandangan Satria yang masih sibuk dengan laptop dan kertas-kertas di atas ranjang kecilnya semakin familiar untuk Johan. Johan bertanya, “Kamu ngapain sih Sat? Rajin banget setiap hari buka laptop, kerja mah masih nanti Sat.” Ucap Johan. Rupanya memang Satria tidak ingin banyak bercerita terkait cita-citanya yang mungkin dianggap tidak masuk akal bagi kawan-kawan di sekitarnya. Satria dengan santainya menjawab, “Nggak Jo, ini saya belajar Bahasa Inggris dan menulis saja, karena lama bekerja membuat kesempatan saya menulis semakin sedikit”. Johan dengan entengnya berkata, “Sok rajin deh kamu Sat!”. Satria tidak menjawab Johan, Ia lantas pergi ke luar kamar untuk mengambil air wudhu dan solat subuh. Ya, hari ini Satria cukup keasyikan mempersiapkan dokumen Beasiswa dan mendaftar universitas, sampai sedikit telat untuk melaksanakan Ibadah.
Awal Februari 2021, Satria membuka jejeran folder yang tersusun rapi di laptopnya. Nampak folder-folder yang dinamai 7 universitas impiannya. Di dalam folder, dokumen-dokumen persyaratan sudah siap dengan rapi. Terlintas dibenaknya tentang perjuangan mendapatkan dokumen tersebut, mulai dari mengontak dosen yang sudah lama ia tidak hubungi, mencoba mengontak awardee beasiswa dan menanyakan tips-tips untuk membuat motivation letter dan masih banyak hal-hal yang dilakukan untuk melengkapi folder demi folder yang tersusun rapi di laptopnya itu.
Hari itu, adalah hari dimana Satria ingin mendaftar universitas di Swedia dan Belanda, masih di jam yang biasa, di waktu subuh ia mengunggah semua dokumennya. Dalam hati Ia berkata, “Bismillah, saya sudah berikhtiar, saya serahkan hasilnya kepadaMu ya Allah”. Dokumen terunggah, ia pun menjalani hari-harinya dengan pasrah dan sedikit gundah karena menunggu hasil dari ikhtiarnya. Internet yang tidak begitu bisa diandalkan di pedalaman membuat ia juga harus rutin memeriksa e-mail terutama di lokasi kerja, karena hanya disitulah lokasi dengan internet yang bisa diandalkan.
Satria juga memperkirakan tanggal yang ia kira adalah hari dimana ia akan diterima oleh kampus atau tidak. Sampai tiba hari dimana Satria berangkat lebih pagi ke kantor hanya untuk menunggu e-mail konfirmasi dari kampus bahwa ia diterima atau tidak. Tidak lama setelah ia parkir motor dinasnya, ia mendengar notifikasi handphone nya yang mengisyaratkan bahwa e-mail baru saja masuk karena handphone yang baru saja terkoneksi otomatis dengan wi-fi kantor. Mendengar notifikasi tersebut sontak ia langsung membuka handphone nya kemudian dengan hembusan nafas lega ia berucap, “Alhamdulillaaah, terima kasih ya Allah sudah memberikan hamba kesempatan untuk bisa melangkah sejauh ini”. Di e-mail nya tertulis: Congratulations! You have been accepted at the University of Twente. Yang ada di benak Satria saat itu adalah bagaimana mempersiapkan diri untuk mengejar beasiswa yang ia impikan.
Beberapa hari berselang Satria kembali menerima e-mail yang menyatakan bahwa ia diterima di Lund University, Swedia. Rasa syukur ia panjatkan, namun ia tahu universitas mana yang ia harus perjuangkan.
2 bulan setelahnya, Satria kembali mengajukan cuti ke Jakarta, kali ini ia sudah mempersiapkan beberapa administrasi yang dibutuhkan untuk mendaftar beasiswa. Namun, recommendation letter adalah salah satu syarat yang ia belum penuhi pada saat itu. Turun dari ojek online yang ia pesan dari penginapan di daerah Bekasi, ia pun sampai di kantor pusat dimana ia pertama kali disambut saat pertama kali bergabung di kantor tersebut. Satria tidak langsung masuk ke kantor, ia sedikit ragu, sungkan, dan rasa campur aduk lainnya sebelum bertemu manajer dan pimpinannya. Memang, ia sudah menghubungi orang-orang hebat tersebut, namun ia juga sangat canggung untuk mengutarakan cita-citanya itu. Sepersekian detik kemudian satria berpikir, “jika saya tidak masuk ke kantor sekarang dan mengutarakan semua yang saya cita-citakan ke pimpinan, maka saya tidak akan pernah menggapai cita-cita untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi”. Dengan yakin ia masuk ke kantor dan menceritakan semuanya, pimpinannya menyambut ramah, alhasil ia mendapatkan recommendation letter untuk melamar beasiswa ke Negara Kincir Angin.
Berkas sudah terkumpul, ia kembali mengunggah dokumen yang dibutuhkan untuk melamar beasiswa di salah satu kanal web beasiswa. Setelah menguggah dokumen, kembali lagi Satria harus berserah diri, berharap yang terbaik.
Singkat cerita, Satria kembali lolos pada tahap administrasi. Dari sekitar lima ratus pendaftar, ia berhasil masuk ke dalam 60 kandidat yang akan masuk ke tahap seleksi berikutnya. Mengetahui bahwa ia lolos untuk seleksi tahap berikutnya, Satria mempersiapkan diri untuk menghadapi tes selanjutnya. Ia menyaksikan webinar, membaca artikel yang relevan yang dibuat oleh awardee beasiswa yang bersangkutan dan segala macam usaha yang menurutnya wajib untuk ia lakukan.
Di seleksi berikutnya ia harus mengerjakan soal psikotes yang cukup panjang, disusul dengan menulis esai yang diberi waktu kurang dari 1 jam dan disusul dengan wawancara yang dilakukan keesokan harinya. Gempuran tes yang berturut-turut membuat Satria cukup lelah namun masih semangat dan percaya diri.
Akhirnya semua tahapan tes sudah Satria lewati, saat itu adalah satu pekan setelah idul fitri (lebaran), Satria harus kembali ke lokasi dimana ia bekerja. Sesampainya di bandara tempat ia bekerja ia mengabari kedua orang tua, tidak lupa ia juga meminta ayah dan ibunya agar berdoa untuk seleksi beasiswanya. “Pak bu, mohon doanya, semoga Satria bisa mendapat hasil yang maksimal” ucap Satria. Ibunya membalas, “Pasti Allah memberikan yang terbaik nak, ibu tau bagaimana perjuangan kamu sejauh ini”. Tak lama, e-mail masuk, tangan Satria bergetar melihat layar handphonenya. Dari layar depan handphonenya Satria membaca sekilas tulisan: Scholarship selection result: successful.
Satria menangis haru, ia berterima kasih kepada kedua orang tua, dan semua orang yang sudah banyak memberikan nasihat dan saran sepanjang proses ia mengejar impian untuk kuliah di luar negeri.
TAMAT